Secangkir teh panas di sudut meja di samping jendela itu menemaniku dimana segerombolan pikiran ini mencari-cari tentang apa yang akan aku telusuri secara mendalam. Pagi yang tak secerah biasa itu menemaniku menjelahi sudut-sudut keramaian kota ini. Para pemain sandiwara nyata pun berkeliaran datang dan pergi dihadapanku yang kini duduk di depan halte yang hanya ingin menyudahkan kakiku sejenak setelah berjalan menyelusuri sudut kota ini.
Hujan yang kini pergi dari membasahi tempat dimana kaki ku berpijak menghadirkan udara yang sejuk itu pun mengharuskanku menlanjutkan kembali penelusuran ini. Bola mata yang bulat ini seakan tertarik melihat pemandangan yang cukup menyedihkan di hadapanku. Mereka yang tertawa di hadapan teman-temannya, pada nyatanya menyimpan berbelit-belit kepedihan yang di pendam sendiri. Terlalu menyedihkan memang saat kita menutup rapat perasaan yang seharusnya ada seseorang yang mendengarkannya. Namun, ada beberapa dari mereka yang takut mencari sandaran.
Ku lanjutkan perjalanan kali ini, menuju persimpangan hati yang sedang rapuh. Hati seorang remaja laki-laki yang kesepian namun tak pernah menampakkannya. Hatinya terlalu keras karna tak pernah terkikis kasih sayang. Seorang anak dari keluarga kalangan atas namun tak punya waktu untuk sekedar bertatap muka, sungguh ironi memang tapi itulah kenyataannya. Andai hati dan matanya pernah melihat kedua bola mata orang itu untuk sekedar bercanda atau menyapa. Dikehidupan yang penuh realita ini selalu penuh dengan sandiwara topeng belaka.
Setelah menyentuh dalam cerita lelaki itu kini aku mencoba masuk pelan-pelan ke dalam kehidupan nyata dengan bersandiwara sebagai teman specialnya. Kehidupan dimana cerita cinta yang di sembunyikan karena ketidak samaan dalam agama dan hal lainnya. Seorang gadis cantik yang baik, dengan seorang laki-laki biasa saja beragama kristian. Kisah yang menyentuh, sepasang topeng yang tak pernah menunjukkan jati dirinya. Sepasang topeng yang hanya mengikuti alur cerita sandiwara.
Perjalanan ilusi yang semakin jauh itu pun aku hentikan, terima kasih tenggukan secangkir kopi pagi itu :)
Hujan yang kini pergi dari membasahi tempat dimana kaki ku berpijak menghadirkan udara yang sejuk itu pun mengharuskanku menlanjutkan kembali penelusuran ini. Bola mata yang bulat ini seakan tertarik melihat pemandangan yang cukup menyedihkan di hadapanku. Mereka yang tertawa di hadapan teman-temannya, pada nyatanya menyimpan berbelit-belit kepedihan yang di pendam sendiri. Terlalu menyedihkan memang saat kita menutup rapat perasaan yang seharusnya ada seseorang yang mendengarkannya. Namun, ada beberapa dari mereka yang takut mencari sandaran.
Ku lanjutkan perjalanan kali ini, menuju persimpangan hati yang sedang rapuh. Hati seorang remaja laki-laki yang kesepian namun tak pernah menampakkannya. Hatinya terlalu keras karna tak pernah terkikis kasih sayang. Seorang anak dari keluarga kalangan atas namun tak punya waktu untuk sekedar bertatap muka, sungguh ironi memang tapi itulah kenyataannya. Andai hati dan matanya pernah melihat kedua bola mata orang itu untuk sekedar bercanda atau menyapa. Dikehidupan yang penuh realita ini selalu penuh dengan sandiwara topeng belaka.
Setelah menyentuh dalam cerita lelaki itu kini aku mencoba masuk pelan-pelan ke dalam kehidupan nyata dengan bersandiwara sebagai teman specialnya. Kehidupan dimana cerita cinta yang di sembunyikan karena ketidak samaan dalam agama dan hal lainnya. Seorang gadis cantik yang baik, dengan seorang laki-laki biasa saja beragama kristian. Kisah yang menyentuh, sepasang topeng yang tak pernah menunjukkan jati dirinya. Sepasang topeng yang hanya mengikuti alur cerita sandiwara.
Perjalanan ilusi yang semakin jauh itu pun aku hentikan, terima kasih tenggukan secangkir kopi pagi itu :)
Komentar
Posting Komentar